Rabu, 14 November 2012

Puisi Berantai



Maling: Malam itu sungguh berarti
Mereka tidak punya nyali
Aku kelabui mereka lagi dan lagi
aksiku bersih
Tidak meninggalkan jejak sama sekali
Kuman dikaki tampak mati
Bauku hilang disapu angin

Polisi: Aku selalu disini mengintaimu
Tak akan pernah kehilangan bau nafsumu
Aku ada karena kaupun ada
Ibarat yin dan yang
Aku galau jika kau tak ada
Sebab tak mungkin ku tangkap sesama polisi

Maling: Aku hanya ingin mencicipi secuil rezkinya,
 yang tak mungkin habis untuk mereka nikmati sendiri

Ustadz: kau hanya senang diatas penderitaan orang
Mereka mencarinya dengan susah payah
Banting tulang, tanpa menyerah
Mencari kerja, mencuri kesempatan
Mengeluarkan tenaga, dan mengais harta

Rakyat:Namun sekarang semuanya hilang
Ditelan asap dan tangan kotormu
Pernahkah kau memikirkannya?

Maling: sobat, tentu saja pernah
Kau kira semua itu mudah?

Rakyat: Apa susahnya?

Maling: aku harus menyamar bagai bunglon
Harus bertingkah bagai bangsawan
Harus menyelinap bagai kucing mengintai ikan
Harus membongkar bagai tukang las
Dan berlari bagai mobil ferari

Polisi: Lalu mengapa kau menjadi pencuri?
Mengapa kau tidak menjadi polisi sepertiku?
Menilang sepeda bermesin tanpa surat
Mengejar orang bertangan panjang
Menembak orang bertingkah hewan
Menghajar orang tak tau aturan

Ustadz: Bertoblah kawan,
Pintu maaf-Nya selalu terbuka
Menerima tobat hamba berdosa
Menerangi hamba tanpa cahaya
Menuntun hamba yang buta arah

Maling: Aku melakukannya...
Untuk mengisi perut tak berisi
Mengisi ulang tenaga yang hampir musnah
Dan mengisi waktu karena hobi

Rakyat: Haruskah aku?
Mengapa aku yang menjadi sasaranmu?
Wahai penegak keadilan...

Polisi: Ada gerangan apa, saudariku?

Rakyat: bisakah kau tentukan hukuman yang pantas?

Maling: Apa aku harus dihukum?
Mengambil secuil hak miliku sendiri?
Merasakan sedikit kenikmatan dunia
Aku lelah menikmati kesengsaraan

Ustadz: Tak tahukah engkau?
Kepalanya dipenggal!
Disisir dengan sisir besi
Tubuhnya dibakar!!
Tapi mereka tetap teguh memegang iman
Sampai akhir hanyatnya memelihara keyakinan
Sungguh mulia orang-orang terdahulu
Abu Bakar Radhiyallahu Anhu
Umar Radhiyallahu Anhu
Dan sahabat-sahabat yang telah hidup lebih dulu
Merupakan cerminan manusia beriman
Didikan Rasulullah saw

Rakyat: wahai penegak keadilan

Polisi: Iya saudariku?

Rakyat: Bisakah kita memisahkan badannya?
Mengkulitinya
Memasukannya kedalam kardus
Dan melemparnya kedalam lubang buaya

Polisi: Semua itu tidak akan membuatnya jera
Dia mendengar dengan matanya
Melihat dengan telinganya
Berpikir dengan dengkulnya
Jangan lakukan hal yang sia-sia

Maling: Serendah itukah diriku?
Aku beraksi melebihi kelincahan atlet
Berlari dengan tenaga turbo
Merayap bagai spiderman
Meloncat melebihi seekor simpanse

Ustadz: Kau benar-benar bertangan panjang
Carilah rezeki yang halal
Beri makan anak istrimu dari nafkah yang Allah Ridhoi
Yang Allah sertakan rahmat dan hidayah
Sehingga engkau selamat dari fitnah
Selamat dari dosa dan salah

Maling: Bisakah kalian melihat apa yang aku bawa?
Tak ada motor disampingku
Tak ada perhiasan di kantongku
Tak ada emas ditanganku
Yang ada hanya gigi emas di mulutku


Polisi: Lalu apakah yang kau bawa dari istana saudariku?

Maling: Hanya sepotong weci dan segelas susu basi,

Rakyat: Hanya itu??
 Aku adalah pemilik berhektar-hektar sawah
Pemegang saham perusahaan terbesar
Pendidik sikap nasionalis
Pembela sikap patriotis
Dan aku adalah orang paling ideologis
Beruntunglah negeri ini punya orang sepertiku

Ustadz: Jangan engkau sombong dan tinggi hati
Merasa paling benar dan paling baik
Seperti setan yang enggan sujud pada Adam
Ia pikir Api lebih baik dari Tanah
Padahal Allah Maha Mengetahui segala sesuatu

Maling: “Tak semua orang di dunia ini
Selalu seperti apa yang terlihat”












Do’a Tiga Orang Pengembara



Dahulu tersebutlah tiga orang laki-laki pengembara. Suatu hari ketika perjalanan mereka sampai di daerah perbukitan, tiba-tiba turun hujan yang sangat deras. Mereka kemudian berteduh di dalam sebuah goa di lereng bukit.
                Karena hujan yang sangat deras membuat tanah yang di atas goa itu longsor dan sebuah batu besar menutupi mulut goa, membuat ketiga pengembara itu tersekap di dalamnya.
                “Demi Allah, tidak ada yang menyelamatkan kecuali sifat jujur (keikhlasan)” kata salah seorang pengembara itu kepada temannya. “Oleh karena itu, kuharap kalian masing-masing agar berdo’a kepada Allah dengan perantara (wasilah) suatu amal yang kita yakin dikerjakan dengan penuh kejujuran (keikhlasan)” sambungnya.
                Salah seorang diantara mereka berdo’a, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku dulu punya seorang pekerja yang bekerja padaku dengan imbalan 3 gantang padi. Tapi tiba-tiba dia pergi dan tidak mengambil upahnya. Kemudian kuambil padi itu lalu kusemaikan dan kutanam. Dari hasil tanaman itu kubelikan seekor sapi. Suatu saat, pekerja itu datang kepadaku untuk menagih upahnya yang dulu. Aku katakana padanya, “bawalah sapi-sapi itu” Pekerja itu kembali berkata “Upahku yang ada pada tuan hanyalah 3 gantang padi.” Maka kujawab sapi itu adalah hasil dari padi yang 3 gantang dulu. Akhirnya sapi-sapi itu diambil juga oleh pekerja itu. Ya Allah, bila Engkau tahu bahwa apa yang kulakukan itu hanya karena aku takut kepada-Mu, maka keluarkanlah kami dari gua ini.
                Tiba-tiba batu besar yang menutupi mulut gua itu sedikit bergeser. Seorang lainnya juga berdo’a, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku mempunyai Ayah dan Ibu yang sudah tua. Setiap malam aku membawakan mereka susu dari kambingku. Suatu malam aku terlambat datang pada mereka. Aku datang saat mereka sudah tertidur lelap. Padahal saat itu, istri dan anak-anakku berteriak kelaparan. Memang biasanya aku tidak memeberi susu buat mereka sebelum kedua orang tuaku terlebih dulu minum. Aku enggan membangunkan mereka, juga untuk meninggalkannya, karena mereka sangat membutuhkan susu tersebut. Maka kutunggu mereka bangun sampai fajar menyingsing.
                “Ya Allah, bila Engkau tahu bahwa aku melakukan hal tersebut hanya karena aku takut kepada-Mu, maka keluarkanlah kami dari gua ini.”
                Tiba-tiba batu besar itu bergeser lagi, sedikit.
                Orang ketiga juga berdo’a, “Ya Allah, Engkau tahu aku mempunyai saudara sepupu perempuan (putri paman), dia adalah wanita yang paling aku cintai. Aku selalu menggoda dan merayunya (untuk berbuat dosa), tapi dia menolak. Hingga ketika dia memohon pinjaman uang dariku, dan aku memberinya 100 dinar. dia melakukan hal itu karena terpaksa, dan hal itu kujadikan sebagai hilah untuk mendapatkan kehormatannya.
                Ketika aku datang dengan membawa uang tersebut untuk kuberikan kepadanya, dia pun memberiku kesempatan, juga karena terpaksa untuk menjamah dirinya. Saat aku duduk diantara kedua kakinya, saudariku itu berkata, “Beraqwalah engkau kepada Allah, janganlah engkau merusak cincin kecuali sudah menjadi hakmu” maka dengan segera aku berdiri dan keluar meninggalkan uang 100 dinar itu untuknya. “Ya Allah, bila Engkau tahu apa yang kulakukan itu karena aku takut padamu, maka keluarkanlah kami dari gua ini”
                Tiba-tiba bergeser sekali lagi batu yang menutupi mulut gua itu hingga terbuka. Allah telah mengeluarkan tiga pengmbara itu, yang tersekap dalam gua karena tertutup batu, akibat longsor.
(Dari Nafi’ diriwayatkan oleh Ibnu Umar)

Berhati-hati Dalam Memilih



Said bin Musayyab adalah seorang yang tabi’in. dia mempunyai seorang anak gadis yang sangat cantik jelita, dan berotak yang sangat cerdas pula. Anak perempuan Said merupakan gadis yang menjadi idaman setiap pemuda.
Suatu ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan mengutus seseorang untuk meminang anak gadis Said, yang akan dinikahkan dengan putnranya yaitu Walid bin Abdul Malik.
Mendapat pinangan dari seorang Khalifah, Said bukannya gembira atau senang, tapi justru ditolaknya pinangan tersebut. Sampai beberapa kali Said didesaknya untuk menerima pinangan itu, namun ia tetap menolak.
Suatu hari Said bin Musayyab bertemu dengan Abu Wada’ah, bekas muridnya sendiri. Abu Wada’ah seorang duda yang baru saja ditinggal mati oleh istrinya. Melihat keadaan bekas muridnya itu, Said merasa kasihan. Lalu ia tawarkan anak gadisnya yang cantik untuk menjadi istrinya. Tentu saja Abu Wada’ah menerimanya dengan senang hati.
Melihat kejadian itu, banyak orang yang mencibirnya. Betapa bodohnya Said. Anak seorang khalifah yang melamar ditolaknya, tapi sekarang anak gadisnya justru dikawinkan dengan seorang duda. Mendengar gunjingan orang-orang, Said bin Musayyab tak memperdulikannya. Sebagai orang tua ia punya tanggu jawab untuk menjaga anak gadisnya agar tak terjerumus pada kesesatan. Karena itu, Said merasa harus hati-hati dalam memilihkan jodoh bagi anak gadisnya.
Said bin Musayyab merasa lebih tenang mengawinkan anaknya dengan seorang laki-laki bekas santrinya yang sudah lama diketahui akhlaq budi pekertinya. Said sangat mengenali tabiat dan prilaku Abu Wada’ah.
Sedangkan Walid bin Abdul Malik meskipun seorang anak Khalifah belum tentu baik budinya. Lagi pula menjadi keluarga istana Kekhalifahan belum tentu menjamin kebahagiaan dan kehidupan rumah tangga yang islami.
Menurut hadist Rasullullah, seseorang dinikahi karena 4 hal. Harta bendanya, nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya. Dalam menjodohkan anak gadisnya, Said bin Musayyab rupanya lebih mementingkan agamanya.