Selasa, 30 Oktober 2012

ROMAN ATHEIS





                Kartini keluar dari kantor kemiliteran Jepang. Perempuan itu lesu seperti orang yang sudah tidak ada gairah hidup dan penuh penyesalan. Kami bertiga tak berkata apa-apa. Rusli membimbing perempuan yang lemah dan bermandikan air mata itu. Kami kini meninggalkan tempat itu tanpa harapan apapun. Hasan ternyata telah wafat. Hasan tidak dapat menahan penyakit TBC dan siksaan algojo tentara Jepang. Padahal  belum seminggu yang lalu mereka menyerah pada kaum Sekutu dan Rusia. Tidak ada yang tahu kapan pastinya Hasan wafat, dan di mana ia dikuburkan.
                Sore itu aku hanya menganggur di rumahku. Itulah awal perkenalanku dengan Hasan. Ia mendatangi rumahku, sama halnya dengan tamu-tamu lain. Akan tetapi, ia langsung mencurahkan seluruh kepercayaannya kepadaku layaknya seorang sahabat sejati. Satu bulan kemudian, ia kembali ke rumahku. Ia membawa setumpukan kertas dan menyerahkannya kepadaku. Ternyata itu adalah sebuah karangan miliknya. Aku membacanya semalaman hingga tamat. Dan beginilah ceritanya.
                Di lereng gunung Telaga Bodas, terdapat sebuah kampung yang diberi nama Kampung Panyeredan. Disanalah orang tuanya, Raden Wiradikarta tinggal. Ayahnya adalah seorang pensiunan kepala sekolah SD. Orang tuanya termasuk orang alim. Oleh karena itu, Hasan dari kecil sudah di didik dalam lingkungan agama. Suatu hari, orang tuanya pergi ke Banten untuk mempelajari ilmu tarekat atau mistik. Mereka berangkat pagi-pagi sekali dan tidak memperbolehkannya ikut. 
                Ayahnya memiliki empat orang anak, akan tetapi hanya Hasan yang tersisa karena yang lain telah meninggal. Oleh karena itu, orang tuanya mengangkat anak yatim yang bernama Fatimah. Mereka tidak di beda-bedakan, dan sangat di sayangi oleh orang tua Hasan. Tetapi, tidak membuat mereka menjadi anak yang manja. Setiap hari, Hasan selalu diceritakan tentang siksa neraka. Itulah yang membuatnya takut, dan selalu rajin beribadah sejak kecil. Setelah Hasan dewasa, ia memberi tahu orang tuanya bahwa ia ingin mempelajari ilmu tarekat yang dianut orang tuanya. Hal itu membuat mereka bangga, hingga meneteskan air mata. Mereka yakin dengan begitu Hasan tidak akan terjerumus ke jalan yang salah. Terlebih lagi Hasan telah di terima bekerja di kantor Kotapraja, Bandung. 
                Demikianlah ia berguru tentang ilmu tarekat. Setiap hari ia sembahyang, berpuasa, mandi di kali Cikapundung empat puluh kali semalam, dan lain-lain. Tapi tak jarang juga ia menjadi sakit. Bahkan, dokter melihat tanda-tanda penyakit TBC di paru-parunya. Untung baginya, paru-parunya belum terluka sehingga ia boleh pulang.
                Waktu telah menunjukkan pukul satu lebih, tapi ia masih melayani beberapa orang. Pada akhirnya, tersisa seorang laki-laki dan perempuan. Betapa kagetnya ia, ternyata laki-laki itu adalah sahabat karibnya sejak kecil. Orang itu bernama Rusli, dan yang perempuan bernama Kartini. Dulu, Rusli sebenarnya adalah orang yang nakal dan tidak tahu mengenai agama karena sejak kecil dia jarang diperhatikan oleh orang tuanya. Sedang, Kartini belum pernah dikenalnya. Akan tetapi, Hasan jatuh cinta kepada Kartini pada pandangan pertama. Mereka berbicara sangat singkat karena sedang tergesa-gesa.
                Beberapa hari berikutnya Hasan pergi ke rumah Rusli setelah Rusli memberikan alamatnya, yaitu di jalan Kebon Manggu 11. Mereka membicarakan pengalaman masing-masing setelah lama berpisah. Rusli tertarik kepada pergerakan politik. Dan ia juga sering berpindah tempat dari Tasikmalaya, Singapura, Jakarta, dan sekarang di Bandung. Mereka mengobrol sambil merokok. Entah kenapa, pada akhirnya Rusli menceritakan tentang Kartini. Sejak Kartini berumur tujuh belas tahun, dia dipaksa ibunya menikah dengan rentenir  Arab yang kaya. Dengan begitu, ibunya mendapat sebagian harta dari orang Arab tersebut. Setelah ibunya meninggal, Kartini mendapat semua harta warisan dan kemudian melarikan diri. Ia meminta perlindungan kepada Rusli, dari kejaran orang Arab tersebut. Itulah riwayat hidup Kartini.
                Hari telah sore, Hasan berpamitan kepada Rusli. Hasan tinggal dengan bibinya, di Sasakgantung 18. Selesai sholat isya, ia terbayang wajah Kartini. Tapi entah kenapa, ia merasa bahwa Kartini mirip dengan Rukmini. Rukmini adalah kekasih Hasan di masa lalu. Mereka berpisah karena orang tua mereka kelihatannya tidak setuju. Orang tua Hasan ingin ia menikah dengan orang bangsawan yang sama sepertinya. Sedangkan orang tua Rukmini ingin anaknya menikah dengan orang yang biasa saja. Mereka takut anaknya, Rukmini akan dijadikan babu oleh suaminya. Sehingga Hasan dan Rukmini harus berpisah.
                Seperti layaknya kiyai, Hasan ingin sekali mengislamkan Rusli dan Kartini karena Hasan tahu bahwa mereka tidak memiliki pegangan. Setelah bertekad bulat ingin mengislamkan mereka berdua, Hasan menyusun persiapannya. Beberapa hari kemudian, Hasan kembali ke rumah Rusli dengan perasaan dapat mengislamkannya. Setibanya di sana, Rusli menyambut dengan ramah. Hasan kemudian mengungkapkan tujuannya yang sebenarnya. Namun, dengan tenang Rusli menjawab. “Tuhan itu tidak ada.” Rusli menguraikan bahwa Tuhan itu buatan manusia sendiri. Orang zaman dahulu banyak mendapat musibah yang dapat menyebabkan kematian. Hal itulah yang membuat mereka merasa ada yang lebih berkuasa dari mereka, sehingga timbul kepercayaan kepada hal gaib. Jadi, Tuhan ada karena ketidak sempurnaan hidup. Karena jika hidup itu sempurna, semua kebutuhan akan terpenuhi dan tidak akan meminta kepada Tuhan lagi. Hasan merasa hancur, tidak tahu akan berkata apa-apa lagi. Rusli langsung meminta maaf karena merasa bersalah telah menyinggung perasaannya.
                Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Hasan tidak dapat lepas dari kejadian tadi. Di rumah, masih dapat terbayang  dengan jelas uraian dari Rusli tersebut. Ia ingat pesan ayahnya bahwa ia harus hati-hati dalam bergaul. Namun ia tidak ingin berpisah dengan Rusli, ataupun Kartini. Dengan yakin ia berkata dalam hati, “Aku boleh bergaul dengan mereka, asalkan aku tidak ikut cara hidup mereka. Cara hidup Atheis.”
                Keesokan harinya, Hasan tidak masuk bekerja. Ia duduk diatas kursi di bawah sinar matahari pagi. Tidak di sangka, Rusli datang bertamu di hari itu. Seperti biasa, selalu ada rokok. Akan tetapi kali ini Hasan lebih membatasi konsumsinya karena teringat penyakitnya. Mereka bercakap-cakap seperti tidak ada masalah apapun yang telah terjadi. Rusli langsung ke intinya, Ia mengajak Hasan ke rumah Kartini. Hasan sangat senang mendengarnya, ia segera mengganti pakaian dan berangkat bersama Rusli. Setelah tiba dirumah Kartini, yaitu dijalan Lengkong Besar 27. Terlihat rumah Kartini yang besar dengan perabotan modern didalamnya. Setelah puas bercakap-cakap, Hasan dan Rusli disuguhi makanan yang sangat banyak hingga memenuhi satu meja makan. Mereka makan dengan lahapnya seperti orang yang kelaparan. Maklum, Hasan sering berpusa bahkan hingga malam. Ketika ditanya Rusli, makanan-makanan tersebut dipesan dari mana, Kartini menjawab dari restoran Wang Seng. Mereka berdua tertawa bersama-sama. Tiba-tiba, Hasan berlari ke kamar mandi dan memuntahkan makanannya. Rusli dan Kartini panik. Rusli membawa Hasan ke kamar, dan Kartini menyiapkan kompres. Setelah selesai, Rusli dan Kartini kembali ke meja makan. Rusli beranggapan bahwa Hasan muntah karena mengira makanan itu adalah makanan Cina. Padahal Wang Seng itu tidak ada, melainkan Wangsa. Mendengar hal  itu, Hasan keluar dan meminta maaf karena telah membuat khawatir.
                Hari sabtu, Hasan pulang jam satu siang. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Hasan dan Kartini. Karena waktu itu adalah jam untuk makan siang, mereka makan bersama di restoran terdekat. Ketika hendak makan, seorang laki-laki menghampiri tempat mereka. Orang itu adalah Anwar, teman Rusli yang baru pindah ke Bandung. Ia adalah orang yang jujur. Meskipun begitu, ia sering menyinggung hati orang lain. Hasan sangat cemburu melihat lirikan mata Anwar terhadap Kartini. Entah kenapa, pada percakapannya, dia menyebut dirinya Tuhan. Hasan sangat terkejut dan geram. Tapi ia hanya diam saja. Rusli hanya tersenyum, seakan-akan telah sering mendengarnya. Anwar berkata seperti itu karena ia yakin manusia itu mampu mengendalikan semuanya. Sehabis makan, mereka berpamitan dengan Anwar.
                Waktu terus berlalu, seakan tak kenyang menelan hari, bulan, bahkan tahun. Pergaulan Hasan dengan orang-orang itu semakin erat, apalagi dengan Kartini dan Rusli. Akan tetapi, ia sekarang jarang beribadah. Sembahyang kadang-kadang, berpuasa terlupakan. Hasan sering mengikuti pertemuan dengan mereka. Dalam pertemuan itu biasanya dibahas mengenai paham-paham Atheis. Yang biasanya menjadi ketua diskusi adalah Bung Parta. Malam harinya Hasan dan Kartini menonton bioskop. Bioskop bubar pada pukul sebelas malam. Mereka berdua berjalan bersama, dan berhenti di sebuah taman. Mereka duduk berdua, di saksikan cahaya bulan. Pada malam itu semuanya tercurahkan tentang perasaan, dan di akhiri dengan pelukan.
                Di pagi hari, Anwar dan Hasan dijemput delman. Hasan akan pulang kampung, tapi tak enak untuk menolak Anwar yang mau ikut. Sesampainya disana, Hasan disambut haru oleh orang tuanya. Ia membungkuk bersalaman cara sunda dengan ayahnya. Sedang Anwar hanya berjabat tangan. Di ruang tamu, Fatimah keluar dengan senyum-senyum, dan pergi membereskan kamar untuk mereka berdua. Ayah Hasan bertanya pada Anwar, “Siapa orang tua anak?” “Ayah saya seorang Bupati pensiun”, jawab Anwar. Mendengar hal itu, orang tua Hasan menunjukkan rasa hormatnya. Tetapi Anwar melarang mereka berperilaku seperti itu. Anwar mengatakan bahwa kita semua adalah manusia, yang memiliki derajat yang sama. Hasan kemudian mengantar  Anwar ke kamar. Karena waktu itu sudah waktunya sembahyang Ashar,maka dengan segera Hasan mengambil air wudlu untuk melaksanakan sembahyang. Anwar melihat Hasan sembahyang. Setelah selesai Hasan sembahyang, Anwar mengatakan bahwa Hasan adalah penipu. Menipu dirinya sendiri. Dirumahnya ia tidak sembahyang, tapi di rumah orang tuanya ia tiba-tiba menjadi alim. 
                Di tengah malam yang gelap, Hasan dan Anwar keluar untuk melihat sekeliling. Tiba-tiba mereka bertemu dengan dua orang lelaki. Ternyata mereka berdua adalah petugas keamanan Desa Penyeredan, Pak Artasan dan Pak Ahim yang sedang melakukan ronda keliling. Percakapan pun terjadi, Pak Artasan lalu bercerita tentang istrinya yang telah meninggal karena dinikahi Mbah Jambrong, makhluk gaib menurut cerita warga setempat. Entah dari mana percakapan itu bermula, tapi Anwar langsung membantah adanya hal seperti itu. Anwar mengajak mereka ke tempat kuburan Mbah Jambrong untuk membuktikan bahwa mahluk gaib itu tidak ada. Tetapi, tidak ada satu orang pun yang berani kesana tengah malam. Setelah lama dipaksa, mereka pun akhirnya ikut. Tetapi, tukang ronda itu hanya menunggu di depan, sehingga tinggal Hasan dan Anwar saja yang masuk kedalam. Ketika begitu dekat dengan kuburan Mbah Jambrong, Hasan yang sudah dari awal tidak berani, lari pontang-panting keluar kuburan mengejar Pak Artasan dan Pak Ahim yang sedang menunggu diluar kuburan. Ketika sedang berlari, tiba-tiba sendal Hasan terlepas dan terlempar entah kemana. Anwar pun mengurunkan niatnya melihat kuburan tersebut. Mereka kemudian pulang untuk beristirahat.
                Keesokan harinya, Anwar dan Hasan kembali untuk mencari sendal Hasan yang tak tahu kemana. Setelah menemukannya, mereka lalu pergi ke kuburan Mbah Jambrong. Anwar berteriak memanggil, dan menendang pendupaan hingga berhamburan semut di dalamnya. Tetapi, tak ada yang keluar dari kuburan. Anwar hanya ingin membuktikan Mbah Jambrong itu tidak ada. Malam terakhir, Hasan bertengkar dengan ayahnya. Hal itu dimulai ketika ayahnya menyuruhnya menikahi Fatimah. Tetapi Hasan menolak. Ia lalu menceritakan semuanya. Ia mengatakan tentang dirinya yang menjadi Atheis yang membuat ayahnya sangat terpukul.  Itulah yang menjadi beban pikiran sepanjang perjalanan pulang ke Bandung.
                Sesampainya di Bandung, beberapa hari kemudian Hasan dan Kartini menikah. Keharmonisan rumah tangga tak bertahan lama. Orang tua Hasan mengirim surat yang mencela pernikahan mereka, dan tidak disengaja di baca oleh Kartini. Ditambah lagi dengan fitnah bahwa Hasan dan Fatimah bertemu di sebuah hotel. Kartini sekarang jarang di rumah. Sedangkan Hasan terus sakit-sakitan.
                Waktu menunjukan pukul tiga pagi, aku tamat membaca naskah Hasan itu. Aku tidak mengira orang yang berpenyakit TBC itu memiliki pengalaman seperti ini. Beberapa hari kemudian Hasan datang kembali. Mukanya makin pucat, batuknya makin sering, badannya hampir kering. Ketika aku menyebutnya Atheis, ia menolak. Karena sekarang ia merasa akan wafat, dan takut akan siksaan neraka. Setelah melakukan percakapan panjang, di mana aku memberi jawaban menurut fahamku, ia hanya mengangguk. Dia berkata senang mendengarku menjawab masalah dalam naskah.
                Sejak malam itu, aku tak pernah mendengar lagi mengenai kabarnya. Hingga suatu hari aku mengetahui ia telah bercerai dengan Kartini dan di tangkap tentara Jepang. Tapi kenapa? Aku tidak tahu. Pada faktanya, sekarang ia telah tiada. Aku mengingat-ngingat naskahnya dan mencoba melaksanakan wasiatnya, yaitu menyunting naskah tersebut. Aku kemudian berencana untuk melanjutkan naskah itu dengan meminta keterangan orang yang terkait. Dan beginilah lanjutannya.
                Sore hari setelah menampar Kartini karena pulang telat, Kartini mengemasi barang-barangnya dan pergi dari sana tanpa tujuan. Dijalan, ia bertemu Anwar yang langsung mengajaknya ke hotel. Setelah sampai di hotel, Anwar dan Kartini langsung menuju kamar. Percakapan pun terjadi diantara mereka. Ketika percakapan belum selesai, Anwar menggoda Kartini. Memeluk Kartini dan ingin melampiaskan nafsunya. Beruntung, Kartini dapat keluar dan langsung pergi ke rumah Rusli.
                Hasan pun insyaf, ia juga mengemasi pakaiannya dan pergi keluar rumah. Padahal tubuhnya sudah tak kuat lagi. Di tengah perjalanan sirine berbunyi, semua orang mencari perlindungan termasuk Hasan. Ia berlindung di dalam sebuah lubang yang penuh orangnya beserta seorang keibodan. Di dalamnya ia merenungkan kejadian yang menimpanya.
                Kira-kira seminggu yang lalu Fatimah mengirim sebuah telegram yang isinya bahwa orang tua Hasan sedang sakit. Terutama ayahnya. Hasan yang segera pulang kampung, duduk di sebelah ayah yang sudah tidak ia kenali lagi keadaannya. Namun, dengan suara berbisik ayahnya mengusir Hasan. Hasan meneteskan air mata, duduk di luar kamar ayahnya. Ia mendengar hembusan nafas terakhir ayahnya.
                Tak terkira air matanya telah membasahi pipinya. Ia menghapus air matanya dan berpikir dengan tenang. Ayah telah tiada, kenapa Tuhan masih ada? Tuhan menciptakan semuanya, termasuk binatang prasejarah. Padahal kata mereka itu adalah buatan manusia. Lantas siapa yang menciptakan mereka selain Tuhan? Jika manusia mati apa Tuhan ikut mati? Lalu bagaimana dengan hewan yang bisa hidup tanpa manusia, apa dapat bertahan tanpa Tuhan? Hasan bersedih, kenapa ia tidak memikirkannya dari dulu. Tapi dengan segera kembali menegakkan dirinya. Ia bertanya bagaimana ia bisa menebus dosanya? Yang sesat tanpa arah. Dengan insyaf, tasbih kembali dalam genggamnnya.
                Sirine aman kembali berbunyi. Hasan berniat menginap di hotel, dan bertemu dengan pembantu yang bernama Amat. Setelah memesan kamar, ia beristirahat di kamar 8. Ia mengisi keterangan di sebuah buku. Setelah selesai, ia memeriksa daftar yang ada pada buku tersebut. Ia terkejut ketika melihat nama “Anwar dengan istrinya.” Padahal ia yakin bahwa Anwar belum menikah. Kata Rusli Anwar pernah dikeluarkan dari sekolah karena berbuat tidak senonoh kepada wanita Balanda. Anwar juga pernah berkata percabulan itu hidup sesungguhnya. Hasan merasa takut melihat tanggalnya, yaitu tanggal pertengkarannya dengan kartini. Ia bertanya kepada Amat, yang kebetulan mengetahui kejadian tersebut. Akhirnya, yakinlah ia bahwa itu adalah kartini. Tanpa pikir panjang ia berlari keluar hotel. Belum jauh dari hotel kembali terdengar sirine bahaya. Akan tetapi Hasan tetap berlari. Dan tiba-tiba  Tar!Tar! aduh. Ternyata, peluru telah menembus pahanya sebelah kiri. Darah berhamburan dan ia sudah tidak bergerak lagi. Pada saat itu, ia disangka mata-mata oleh tentara jepang. Lalu, dia dibawa ke kantor tentara Jepang untuk disiksa.


               
                 
                        
Unsur Intrinsik Roman Atheis

·         Tema                     : Pengaruh paham Atheis yang menggoyahkan keimanan seseorang.
·         Penokohan         :

a)      Hasan
Tokoh protagonis. Ia seorang anak pensiunan kepala sekolah SD. Ia tergolong sebagai pemuda yang taat dan patuh terhadap kedua orang tuanya dan pada perintah agamanya. Namun, ia tidak mempunyai pendirian yang tidak tetap sehingga mudah terpengaruh oleh keadaan sekitarnya terutama paham atheis yang dibawa oleh temannya.
b)      Kartini
Teman Rusli dan ia seorang janda mantan istri keempat dari rentenir Arab yang menjadi atheis pula. Ia seorang istri yang mencintai suaminya. Namun, karena ia terlalu sibuk ia mulai melupakan kehadirannya sebagai istri dan rumah tangganya akhirnya tidak dapat berlangsung lama karena kecemburuan Hasan. Dia juga termasuk orang yang sopan dan baik.
c)       Rusli
Sahabat Hasan dari kecil. Ia sahabat yang pintar dalam berbicara dan sangat dekat dengan Hasan. Ia dapat mempengaruhi Hasan dalam pergerakkan yang berpaham Atheis.
d)      Raden Wiradikarta
Orang tua Hasan yang memiliki wibawa yang tinggi dalam mendidik anaknya dalam agama, dan ia pun taat beribadah.
e)      Anwar
Teman Rusli dan Kartini yang sangat berpengaruh sehingga menyebabkan kecemburuan Hasan pada Kartini karena mereka selalu terlihat bersama. Ia orang yang jujur meskipun suka menyakiti hati orang lain.

                      
·         Alur                        : Mundur-maju
Artinya pada awalnya menceritakan suatu akhir, dan pada karangan Hasan awalnya merupakan perkenalan.
·         Latar                      : Kampung Penyeredan Garut, jalan Kebon Manggu 11, Lekong Besar 27 dan beberapa tempat di Bandung.
·         Sudut Pandang : Sudut pandang orang pertama pelaku sampingan.
·         Bahasa                  : Bahasa Melayu, Belanda, dan Jepang.
·         Amanat                                :
a)      Tanamkanlah keimanan kita agar memiliki pondasi iman yang kuat.
b)      Teguhkan pendirian kita agar tidak mudah terpengaruh dengan keadaan dunia luar yang bertentangan dengan kepercayaan kita.
c)       Pandai-pandailah memilih teman bergaul.
d)      Jangan mudah percaya dengan apa yang kamu dengar sebelum mengetahui kebenarannya.
e)      Dan lain-lain.
·         Nilai Adat             :
a)      Di Sunda, jika kita bertemu dengan orang yang lebih tua maka kita harus bersalaman dengan adat Sunda.
b)      Di Sunda, kebanyakan orang meletakkan dupa disamping kuburan orang yang meninggal.
c)       Dan lain-lain.



Surat Buat Tuhan





Rumah itu, satu-satunya di seluruh lembah yang bertengger di punggung sebuah bukit yang landai. Dari ketinggian tersebut orang bisa melihat sungai. Dan di samping kandang, ladang jagung yang ranum yang dipenuhi oleh bunga-bunga tanaman kacang merah yang selalu menjanjikan panen yang baik. Satu-satunya yang dibutuhkan oleh tanah di sana adalah turunnya hujan, atau paling tidak gerimis. Karena, daerah itu jarang di guyur air hujan. Sedari pagi Pedro, sosok remaja pria berkulit sawo matang yang begitu mengenal ladangnya tidak melakukan apa-apa kecuali mengawasi langit di sebelah timur laut sambil di temani oleh sahabat karibnya sejak kecil, Ray dan Rico (sambil menampakkan senyuman manisnya kepada pedro).
Pedro                           : “Sekarang kita benar-benar mendapat air hujan.” (dengan wajah penuh kegembiraan)
Ray                              : “Benar, tumben dalam setahun turun hujan.”
Rico                             : “Emang sebelumnya jarang sekali turun hujan ?”
Pedro                           : “Kalo dilihat-lihat benar juga sih...”
Ray                              :“Makanya sekarang kita manfaatkan air hujan ini sebanyak banyaknya!
Rico                             : “Gimana menurutmu, Ro ?”
Pedro                           : “Benar juga, pandai kamu Ray.”
Ray                              : “Siapa dulu .....Ray!!!”
Rico                             : “Namun, kita juga harus patut bersyukur kepada Tuhan.”
Pedro dan Ray                        : “Ya donk.”
Pedro                           : “Sudahlah, aku pulang dulu. Soalnya hari semakin petang.”
Rico                             : “Benar juga perkataan kamu, aku juga takut dimarahi Ibu.”
   Ketiga sahabat itu pun pulang menuju rumahnya, sambil mengucapkan kalimat salamnya yang selalu diucapkan ketika hendak pulang.
   Ketika Pedro telah sampai di rumahnya, Pedro dengan hentakan kakinya mengeluarkan bunyi yang cukup keras. Ia pun langsung menuju jendela di samping kamarnya sambil menatap ladang dekat rumahnya yang telah diberikannya semenjak kedua orang tuanya meninggal. Saat itu ia diasuh oleh kakeknya sendiri. Ketika menatap ladangnya, tiba-tiba kakeknya dengan suara yang lantang memanggil Pedro.
Kakek              : “Pedro, ayo makan.”
Pedro               : “Sebentar dulu, kek.”
Kakek              : “Ayo cepatan, nanti makanannya keburu dingin lho.”
Pedro               : “Baik kek, saya akan segera kesana.”
Di pagi hari, hujan yang sangat lebat sepertinya akan turun. Di timur laut gumpalan-gumpalan awan tebal bisa terlihat mendekat. Udara terasa segar dan dan cukup dingin.
            Pedro pergi keluar untuk mencari sesuatu di ladang, yang sesungguhnya tak lain adalah untuk menikmati guyuran air hujan pada tubuhnya, dan ketika kembali ia berseru, “ Yang jatuh dari langit ini bukan titik-titik air, melainkan keping-keping uang logam baru. Titik-titik yang besar bernilai lima ratus rupiah dan yang kecil bernilai seratus rupiah.
            Di jalan setapak yang tak jauh dari ladang, ia bertemu dengan Rico.
            Rico                 : “Pedro, kamu sekarang mau datang ngapain? Sendirian lagi !
            Pedro               : “Aku hanya ingin melihat ladang warisan kedua orang tuaku.
Terus kamu mau ngapain ?”
Rico                 : “Nggak ada dach. Aku hanya ingin jalan-jalan saja, mencari udara segar.”
            Pedro               : “Kalau begitu ayo, ikutlah denganku ke ladang !”
            Rico                 : “Boleh juga!”
            Setelah sampai di ladang, dengan muka berseri-berseri mereka memandang ladang jagung dengan bunga-bunga kacang merahnya yang terselimuti oleh tabir hujan. Dan saat itu mereka pun duduk di tempat para petani beristirahat. Tetapi, mendadak angin mulai bertiup kencang dan bersama dengan turunnya air hujan. Sehingga, berjatuhlah butir-butir air es yang berukuran kecil-kecil. Inilah yang ia maksud uang logam itu. Hal itu berlangsung cukup lama. Selama satu jam butiran-butiran air beku itu mendera rumah, kebun, lereng bukit, ladang jagung, dan seluruh lembah. Tak ada sehelai daun pun yang masih melekat pada pohon-pohon. Ladang kelihatan putih, seperti tertutupi oleh garam. Ladang peninggalan orang tua Pedro semuanya hancur. Bunga-bunga kacang pun juga telah terenggut dari tanamannya. Hati Pedro menjadi sedih. Setelah badai berlalu ia berdiri di tengah ladang dan berkata pada Rico.
Pedro               : “Serangan serangga pun masih menyisakan sesuatu. Namun hujan es tidak menyisakanku apa-apa sama sekali. Tahun ini keluargaku tidak akan    mempunyai jagung atau kacang untuk di makan.
            Rico                : “Lalu bagaimana kamu menyelesaikan masalah ini ?”
            Pedro               : “Aku juga masih belum tahu..................”
            Malam itu merupakan malam duka cita. Saat itu Pedro pun dengan wajah kesal yang dilumuri keheranan menatap ladangnya yang telah hancur diterpa badai. Ia pun menatap langit sejenak, kemudian ia berkata pada Rico.
            Pedro               : “Aku masih mempunyai setitik harapan.”
            Rico                 : “Apa itu ?” (Dengan wajah keheranan).
            Pedro               : “Pertolongan Tuhan.”
            Rico                 : “Emang gimana caranya?”
            Pedro              : “ Masalah itu nanti akan ku pikirkan !”
            Rico                 : “Terserah kamu dech, Pedro!”
            Pedro               : “OK . . . .!”
Rico                 : “Ya sudah, aku pulang dulu. Sudah dulu jalan-jalannya, sampai          ketemu lagi!”
            Pedro               : “Ya sudah, kalau begitu sampai jumpa lagi yaaaa…..!”
Pedro pun menuju rumahnya yang berada  di punggung sebuah bukit landai. Sambil melewati jalan setapak, ia memikirkan bagaimana caranya untuk meminta pertolongan Tuhan. Setelah sampai di rumahnya, ia pun langsung menuju tempat tidurnya dengan suara hentakkan kaki yang cukup keras dan dapat membangunkan kakeknya yang sedang tertidur pulas. Kakeknya pun berkata pada Pedro.
Kakek              : “ Pedro, kalau jalan suara kakinya jangan terlalau keras ya!”
Pedro               : “Ya kek.”
Di kamarnya, Pedro hanya memikirkan tentang harapan yang tinggal satu-satunya. Yaitu pertolongan Tuhan. Ia yakin bahwa Tuhan dapat melihat segalanya, bahkan isi hati manusia pun dapat di ketahui.
Pedro adalah seorang laki-laki yang bertenaga bagai banteng, tetapi kurang pandai menulis. Minggu berikutnya, setelah meyakinkan diri bahwa roh pelindung itu sungguh-sungguh ada, ia pun berusaha menulis sepucuk surat  yang akan di bawanya ke kota untuk di kirim. Bukan hal yang istimewa, melainkan sepucuk surat untuk Tuhan yang isinya, “ Tuhan kalau engkau tak menolongku, maka aku dan kakekku akan kelaparan tahun ini. Aku membutuhkan uang, setidaknya satu juta rupiah untuk menanami ladangku kembali dan menyambung hidup sampai datangnya musim panen, karna badai waktu itu.”
Ia juga menuliskan: “Untuk Tuhan” sebagai alamat tujuan. Meskipun masih berduka, ia tetap berangkat ke kota. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Ray dan Rico.
Ray                  : “Pedro, kamu mau ke mana?”
Pedro               : “Mau ke kota.”
Rico                 : “ Mau ngapain ke kota?”
Pedro               : “Mau kirim surat.”
Ray                  : “Apa isinya?”
Pedro               : “Rahasia…..!”
Rico                 : “Ya sudah, hati-hati di jalan ya!”
Ray                  : “Ingat juga, ntar cepat pulang ya! Kasian kakekmu sendirian di rumah.”  
Pedro               : “Ya, tenang aja!”
Setelah sampai di kantor pos, ia melekatkan sebuah perangko pada suratnya dan memasukkannya ke dalam kotak pos.
Salah seorang tukang pos yang juga membantu di dalam kantor pos, menemui atasannya sambil tertawa. Ia menunjukkan surat itu kepada atasannya. Belum pernah sekalipun di dalam pekerjaannya sebagai tukang pos pernah mengantar ke alamat tersebut, sehingga tidak tahu akan berbuat apa. Setelah mereka berdua membaca surat itu, kepala kantor pos itu pun tertawa, namun segera menjadi serius. Sambil mengetuk-ngetuk surat di atas mejanya itu, ia pun berkata pada tukang pos.
Kepala kantor pos       : “ Imannya benar-benar tebal. Ia percaya pada apa yang ia percayai. Berharap dengan keyakinan, dan tahu bagaimana caranya berharap, berkorespondensi dengan Tuhan. Padahal ia tahu bahwa suranya ini pasti tidak akan dibalas. Tapi, ia tetap berusaha.”
Tukang pos                  : “Bagaimana sekarang pak? Kemana kita akan mengirimkan surat ini? Soalnya alamatnya belum jelas!
Kepala kantor pos       : “Bagaimana kalau kita yang membalas surat ini?”
Tukang pos                  : “Maksudnya…..?”
Kepala kantor pos       : “Begini, kita kumpulkan sumbangan dari para pegawai. Setelah terkumpul, baru kemudian kita memberikan surat balasannya kepada pengirim surat ini.”
Tukang pos                  : “Baiklah, terserah bapak.”
Namun, uang yang terkumpul hanya sebagian dari harapan si pengirim. Ia kemudian
memasukkan uang itu ke dalam sebuah amplop yang di alamatkan kepada Pedro dengan
disertai selembar surat yang bertuliskan satu patah kata sebagai tanda tangan: TUHAN.
Minggu berikutnya, Pedro kembali ke kota, dan berharap mendapat surat balasan.
Pedro                           : “Apakah ada surat untukku?” (dengan suara terengah-engah)
Tukang pos                  : “Pedro ya?”
Pedro                           : “Ia benar.”
Tukang pos                  : “Ada, ini dia……!”
Pedro                           : “Terima kasih.”
Tukang pos                  : “Ya, sama-sama.”
Sementara itu, Kepala Kantor Pos yang cukup puas karena merasa telah melakukan kebajikan, menyaksikan dari ambang pintu kantornya.
Pedro tampak tidak terkejut sama sekali ketika melihat isi amplop tersebut meskipun berisi lima ratus ribu rupiah. Tuhan tidak mungkin salah dan tidak mungkin memungkiri jumlah yang ku minta (pikirnya dalam hati).
Dengan segera, Pedro menulis balasan untuk surat itu. Setelah selesai, ia kembali ke Loket untuk membeli perangko dan kemudian di jilat serta di tempelkannya ke amplop dengan hentakkan tinjunya.
Setelah Surat di masukkan kedalam kotak pos, Pedro pun langsung pulang kerumahnya. Melihat hal tersebut Kepala Kantor Pos langsung membuka dan membaca isi surat balasan itu, dan isinya:
“Tuhan, dari jumlah yang kuminta hanya setengahnya yang kuterima. Kirimkanlah sisanya sebab aku sangat membutuhkannya. Tapi jangan kau kirimkan melalui tukang pos itu karena tukang pos itu penipu.”
Akhirnya, Kepala kantor pos itu pun hanya tersenyum, dan di saksikan oleh tukang pos.


Amanat:
Dalam menjalani kehidupan, kita tidak boleh gampang menyerah dan putus asa, semua cobaan pasti ada jalan keluarnya. Namun lebih baik kita jujur, karena tidak ada istilah “Berbohong demi kebaikan.” Sebab, bohong tetaplah bohong, tidak akan mendapat pahala.