Kartini keluar dari
kantor kemiliteran Jepang. Perempuan itu lesu seperti orang yang sudah tidak
ada gairah hidup dan penuh penyesalan. Kami bertiga tak berkata apa-apa. Rusli
membimbing perempuan yang lemah dan bermandikan air mata itu. Kami kini
meninggalkan tempat itu tanpa harapan apapun. Hasan ternyata telah wafat. Hasan
tidak dapat menahan penyakit TBC dan siksaan algojo tentara Jepang. Padahal
belum seminggu yang lalu mereka menyerah pada kaum Sekutu dan Rusia.
Tidak ada yang tahu kapan pastinya Hasan wafat, dan di mana ia dikuburkan.
Sore itu aku hanya
menganggur di rumahku. Itulah awal perkenalanku dengan Hasan. Ia mendatangi rumahku,
sama halnya dengan tamu-tamu lain. Akan tetapi, ia langsung mencurahkan seluruh
kepercayaannya kepadaku layaknya seorang sahabat sejati. Satu bulan kemudian, ia
kembali ke rumahku. Ia membawa
setumpukan kertas dan menyerahkannya kepadaku. Ternyata itu adalah sebuah
karangan miliknya. Aku membacanya semalaman hingga tamat. Dan beginilah
ceritanya.
Di lereng gunung Telaga
Bodas, terdapat sebuah kampung yang diberi nama Kampung Panyeredan. Disanalah
orang tuanya, Raden
Wiradikarta tinggal. Ayahnya adalah seorang pensiunan kepala sekolah SD. Orang tuanya termasuk orang
alim. Oleh karena itu, Hasan dari kecil sudah di didik dalam lingkungan agama.
Suatu hari, orang tuanya pergi ke Banten untuk mempelajari ilmu tarekat atau mistik. Mereka berangkat pagi-pagi
sekali dan tidak memperbolehkannya ikut.
Ayahnya memiliki empat
orang anak, akan tetapi hanya Hasan yang tersisa karena yang lain telah
meninggal. Oleh karena itu, orang tuanya mengangkat anak yatim yang bernama
Fatimah. Mereka tidak di beda-bedakan, dan sangat di sayangi oleh orang tua Hasan. Tetapi, tidak membuat mereka menjadi anak yang manja. Setiap hari, Hasan selalu
diceritakan tentang siksa neraka. Itulah yang membuatnya takut, dan selalu
rajin beribadah sejak kecil. Setelah Hasan dewasa, ia memberi tahu orang tuanya
bahwa ia ingin mempelajari ilmu tarekat yang dianut orang tuanya. Hal itu
membuat mereka bangga, hingga meneteskan air mata. Mereka yakin dengan begitu
Hasan tidak akan terjerumus ke jalan yang salah. Terlebih lagi Hasan telah di
terima bekerja di kantor Kotapraja, Bandung.
Demikianlah ia berguru
tentang ilmu tarekat. Setiap
hari ia sembahyang, berpuasa, mandi di kali Cikapundung empat puluh kali
semalam, dan lain-lain. Tapi tak jarang juga ia menjadi sakit. Bahkan, dokter melihat
tanda-tanda penyakit TBC di
paru-parunya. Untung baginya, paru-parunya belum terluka sehingga ia boleh
pulang.
Waktu telah menunjukkan pukul satu lebih, tapi ia masih
melayani beberapa orang. Pada akhirnya, tersisa seorang laki-laki dan
perempuan. Betapa kagetnya ia, ternyata laki-laki itu adalah sahabat karibnya sejak
kecil. Orang itu bernama Rusli, dan yang perempuan bernama Kartini. Dulu, Rusli
sebenarnya adalah orang yang nakal dan tidak tahu mengenai agama karena sejak
kecil dia jarang diperhatikan oleh orang tuanya. Sedang, Kartini belum
pernah dikenalnya. Akan tetapi, Hasan jatuh cinta kepada Kartini pada pandangan
pertama. Mereka berbicara sangat singkat karena sedang tergesa-gesa.
Beberapa hari
berikutnya Hasan pergi ke rumah Rusli setelah Rusli memberikan alamatnya, yaitu
di jalan Kebon Manggu 11.
Mereka membicarakan pengalaman masing-masing setelah lama berpisah. Rusli tertarik kepada pergerakan
politik. Dan ia juga sering berpindah tempat dari Tasikmalaya, Singapura,
Jakarta, dan sekarang di
Bandung. Mereka mengobrol sambil merokok. Entah kenapa, pada akhirnya Rusli
menceritakan tentang Kartini. Sejak Kartini berumur tujuh belas tahun, dia dipaksa ibunya menikah dengan rentenir
Arab yang kaya. Dengan begitu, ibunya mendapat sebagian harta dari orang
Arab tersebut. Setelah ibunya
meninggal, Kartini mendapat semua harta warisan dan kemudian melarikan diri. Ia meminta perlindungan
kepada Rusli, dari kejaran orang Arab tersebut. Itulah riwayat hidup
Kartini.
Hari telah sore, Hasan
berpamitan kepada Rusli. Hasan tinggal dengan bibinya, di Sasakgantung 18.
Selesai sholat isya, ia terbayang wajah Kartini. Tapi entah kenapa, ia merasa
bahwa Kartini mirip dengan Rukmini. Rukmini adalah kekasih Hasan di masa lalu.
Mereka berpisah karena orang tua mereka kelihatannya tidak setuju. Orang tua
Hasan ingin ia menikah dengan orang bangsawan yang sama sepertinya. Sedangkan
orang tua Rukmini ingin anaknya menikah dengan orang yang biasa saja. Mereka
takut anaknya, Rukmini akan
dijadikan babu oleh suaminya. Sehingga Hasan dan Rukmini harus berpisah.
Seperti layaknya
kiyai, Hasan ingin sekali mengislamkan Rusli dan Kartini karena
Hasan tahu bahwa mereka tidak memiliki pegangan. Setelah bertekad bulat
ingin mengislamkan mereka berdua,
Hasan menyusun persiapannya. Beberapa hari kemudian, Hasan kembali ke rumah Rusli dengan perasaan
dapat mengislamkannya. Setibanya di sana, Rusli menyambut dengan ramah. Hasan kemudian
mengungkapkan tujuannya yang sebenarnya. Namun, dengan tenang Rusli menjawab.
“Tuhan itu tidak ada.” Rusli menguraikan bahwa Tuhan itu buatan manusia
sendiri. Orang zaman dahulu banyak mendapat musibah yang dapat menyebabkan
kematian. Hal itulah yang membuat mereka merasa ada yang lebih berkuasa dari
mereka, sehingga timbul kepercayaan kepada hal gaib. Jadi, Tuhan ada karena
ketidak sempurnaan hidup. Karena jika hidup itu sempurna, semua kebutuhan akan
terpenuhi dan tidak akan meminta kepada Tuhan lagi. Hasan merasa hancur, tidak
tahu akan berkata apa-apa lagi. Rusli langsung meminta maaf karena merasa bersalah telah menyinggung
perasaannya.
Sepanjang perjalanan
pulang, pikiran Hasan tidak dapat lepas dari kejadian tadi. Di rumah, masih
dapat terbayang dengan jelas uraian dari
Rusli tersebut. Ia ingat
pesan ayahnya bahwa ia harus hati-hati dalam bergaul. Namun ia tidak ingin
berpisah dengan Rusli, ataupun Kartini. Dengan yakin ia berkata dalam hati, “Aku boleh bergaul dengan mereka, asalkan
aku tidak ikut cara hidup mereka. Cara hidup Atheis.”
Keesokan harinya,
Hasan tidak masuk bekerja. Ia
duduk diatas kursi di bawah sinar matahari pagi. Tidak di sangka, Rusli datang
bertamu di hari itu. Seperti biasa, selalu ada rokok. Akan tetapi kali ini
Hasan lebih membatasi konsumsinya karena teringat penyakitnya. Mereka
bercakap-cakap seperti tidak ada masalah apapun yang telah terjadi. Rusli
langsung ke intinya, Ia mengajak Hasan ke rumah Kartini. Hasan sangat senang
mendengarnya, ia segera mengganti pakaian dan berangkat bersama Rusli. Setelah tiba dirumah Kartini, yaitu dijalan Lengkong Besar 27. Terlihat rumah Kartini yang besar dengan perabotan modern didalamnya. Setelah puas bercakap-cakap, Hasan dan Rusli disuguhi makanan
yang sangat banyak hingga memenuhi
satu meja makan. Mereka makan dengan lahapnya seperti orang yang kelaparan. Maklum, Hasan sering berpusa bahkan
hingga malam. Ketika ditanya Rusli, makanan-makanan
tersebut dipesan dari mana, Kartini
menjawab dari restoran Wang
Seng. Mereka
berdua tertawa bersama-sama.
Tiba-tiba, Hasan berlari ke kamar mandi dan memuntahkan makanannya. Rusli dan
Kartini panik. Rusli membawa Hasan ke kamar, dan Kartini menyiapkan kompres.
Setelah selesai, Rusli dan Kartini kembali ke meja makan. Rusli beranggapan
bahwa Hasan muntah karena mengira makanan itu adalah makanan Cina. Padahal Wang Seng itu tidak ada,
melainkan Wangsa. Mendengar hal itu,
Hasan keluar dan meminta maaf karena telah membuat khawatir.
Hari sabtu, Hasan
pulang jam satu siang. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Hasan dan Kartini.
Karena waktu itu adalah jam untuk makan siang, mereka makan bersama di restoran terdekat. Ketika hendak makan, seorang laki-laki
menghampiri tempat mereka. Orang itu adalah Anwar, teman Rusli yang baru pindah
ke Bandung. Ia adalah orang
yang jujur. Meskipun begitu, ia sering
menyinggung hati orang lain. Hasan sangat cemburu melihat lirikan mata Anwar
terhadap Kartini. Entah kenapa, pada percakapannya, dia menyebut dirinya Tuhan.
Hasan sangat terkejut dan geram. Tapi ia hanya diam saja. Rusli hanya
tersenyum, seakan-akan telah sering mendengarnya. Anwar berkata seperti itu
karena ia yakin manusia itu mampu mengendalikan semuanya. Sehabis makan, mereka
berpamitan dengan Anwar.
Waktu terus berlalu, seakan tak kenyang menelan hari, bulan,
bahkan tahun. Pergaulan Hasan dengan orang-orang itu semakin erat, apalagi dengan Kartini dan Rusli. Akan
tetapi, ia sekarang jarang
beribadah. Sembahyang kadang-kadang, berpuasa terlupakan. Hasan sering mengikuti
pertemuan dengan mereka. Dalam pertemuan itu biasanya dibahas mengenai
paham-paham Atheis. Yang biasanya menjadi ketua diskusi adalah Bung Parta. Malam harinya Hasan dan Kartini
menonton bioskop. Bioskop
bubar pada pukul sebelas malam. Mereka berdua berjalan bersama, dan berhenti di
sebuah taman. Mereka duduk berdua, di saksikan cahaya bulan. Pada malam itu semuanya tercurahkan
tentang perasaan, dan di akhiri dengan pelukan.
Di pagi hari, Anwar
dan Hasan dijemput delman. Hasan akan pulang kampung, tapi tak enak untuk
menolak Anwar yang mau ikut. Sesampainya disana, Hasan disambut haru oleh orang tuanya. Ia membungkuk bersalaman
cara sunda dengan ayahnya. Sedang Anwar hanya berjabat tangan. Di ruang tamu,
Fatimah keluar dengan senyum-senyum, dan pergi membereskan kamar untuk mereka
berdua. Ayah Hasan bertanya pada Anwar, “Siapa orang tua anak?” “Ayah saya seorang Bupati pensiun”, jawab Anwar. Mendengar
hal itu, orang tua Hasan menunjukkan rasa hormatnya. Tetapi Anwar melarang mereka berperilaku seperti itu. Anwar mengatakan bahwa kita
semua adalah manusia, yang memiliki derajat yang sama. Hasan kemudian mengantar Anwar ke kamar. Karena waktu itu sudah
waktunya sembahyang Ashar,maka dengan segera Hasan mengambil air wudlu untuk
melaksanakan sembahyang. Anwar
melihat Hasan sembahyang. Setelah selesai Hasan sembahyang, Anwar mengatakan bahwa Hasan adalah penipu. Menipu
dirinya sendiri. Dirumahnya ia tidak sembahyang, tapi di rumah orang tuanya
ia tiba-tiba menjadi alim.
Di tengah malam yang gelap, Hasan dan Anwar keluar
untuk melihat sekeliling. Tiba-tiba mereka bertemu dengan dua orang lelaki. Ternyata
mereka berdua adalah petugas keamanan Desa Penyeredan, Pak Artasan dan Pak Ahim yang sedang melakukan ronda keliling.
Percakapan pun terjadi, Pak Artasan lalu bercerita tentang istrinya yang telah meninggal karena dinikahi Mbah Jambrong,
makhluk gaib menurut cerita warga setempat. Entah dari mana percakapan itu bermula, tapi
Anwar langsung membantah adanya hal seperti itu. Anwar mengajak mereka ke tempat
kuburan Mbah Jambrong untuk membuktikan bahwa mahluk gaib itu tidak ada.
Tetapi, tidak ada satu orang pun yang berani kesana tengah malam. Setelah lama dipaksa, mereka pun akhirnya
ikut. Tetapi, tukang ronda itu hanya
menunggu di depan, sehingga tinggal Hasan dan Anwar saja yang masuk
kedalam. Ketika begitu dekat
dengan kuburan Mbah Jambrong, Hasan
yang sudah dari awal tidak berani, lari pontang-panting keluar kuburan
mengejar Pak Artasan dan Pak Ahim yang sedang menunggu diluar kuburan. Ketika sedang berlari, tiba-tiba
sendal Hasan terlepas dan terlempar entah kemana. Anwar pun mengurunkan niatnya melihat kuburan tersebut.
Mereka kemudian pulang untuk beristirahat.
Keesokan harinya,
Anwar dan Hasan kembali untuk mencari sendal Hasan yang tak tahu kemana. Setelah menemukannya, mereka lalu
pergi ke kuburan Mbah Jambrong.
Anwar berteriak memanggil, dan menendang pendupaan hingga berhamburan semut di
dalamnya. Tetapi, tak ada yang keluar dari kuburan. Anwar hanya ingin
membuktikan Mbah Jambrong itu tidak ada. Malam terakhir, Hasan bertengkar
dengan ayahnya. Hal itu dimulai ketika ayahnya menyuruhnya menikahi Fatimah.
Tetapi Hasan menolak. Ia lalu menceritakan semuanya. Ia mengatakan tentang dirinya yang menjadi Atheis
yang membuat ayahnya sangat
terpukul. Itulah yang menjadi beban
pikiran sepanjang perjalanan pulang ke Bandung.
Sesampainya di Bandung, beberapa hari kemudian Hasan dan Kartini
menikah. Keharmonisan rumah tangga tak bertahan lama. Orang tua Hasan mengirim
surat yang mencela pernikahan mereka, dan tidak disengaja di baca oleh Kartini.
Ditambah lagi dengan fitnah bahwa Hasan dan Fatimah bertemu di sebuah hotel.
Kartini sekarang jarang di rumah. Sedangkan Hasan terus sakit-sakitan.
Waktu menunjukan pukul
tiga pagi, aku tamat membaca naskah Hasan itu. Aku tidak mengira orang yang
berpenyakit TBC itu memiliki
pengalaman seperti ini.
Beberapa hari kemudian Hasan datang kembali. Mukanya makin pucat, batuknya
makin sering, badannya hampir kering. Ketika aku menyebutnya Atheis, ia menolak. Karena sekarang ia
merasa akan wafat, dan takut akan siksaan neraka. Setelah melakukan percakapan panjang, di mana aku memberi jawaban
menurut fahamku, ia hanya mengangguk. Dia berkata senang mendengarku menjawab
masalah dalam naskah.
Sejak malam itu, aku
tak pernah mendengar lagi mengenai kabarnya. Hingga suatu hari aku mengetahui ia telah bercerai dengan Kartini
dan di tangkap tentara Jepang. Tapi kenapa? Aku tidak tahu. Pada faktanya,
sekarang ia telah tiada. Aku mengingat-ngingat naskahnya dan mencoba melaksanakan wasiatnya, yaitu menyunting naskah tersebut. Aku kemudian berencana untuk melanjutkan naskah
itu dengan meminta keterangan orang yang terkait. Dan beginilah lanjutannya.
Sore hari setelah
menampar Kartini karena pulang telat, Kartini mengemasi barang-barangnya dan pergi
dari sana tanpa tujuan. Dijalan, ia bertemu Anwar yang langsung mengajaknya ke
hotel. Setelah sampai di hotel, Anwar dan Kartini langsung menuju kamar.
Percakapan pun terjadi diantara mereka. Ketika percakapan belum selesai, Anwar menggoda Kartini. Memeluk Kartini
dan ingin melampiaskan nafsunya. Beruntung, Kartini dapat keluar dan langsung
pergi ke rumah Rusli.
Hasan pun insyaf, ia juga
mengemasi pakaiannya dan pergi keluar rumah. Padahal tubuhnya sudah tak kuat
lagi. Di tengah perjalanan sirine berbunyi, semua orang mencari perlindungan
termasuk Hasan. Ia berlindung di dalam sebuah lubang yang penuh orangnya
beserta seorang keibodan. Di dalamnya ia merenungkan kejadian yang menimpanya.
Kira-kira seminggu
yang lalu Fatimah mengirim sebuah telegram yang isinya bahwa orang tua Hasan
sedang sakit. Terutama ayahnya. Hasan yang segera pulang kampung, duduk di
sebelah ayah yang sudah tidak ia kenali lagi keadaannya. Namun, dengan suara
berbisik ayahnya mengusir Hasan. Hasan meneteskan air mata, duduk di luar kamar
ayahnya. Ia mendengar hembusan nafas terakhir ayahnya.
Tak terkira air
matanya telah membasahi pipinya. Ia menghapus air matanya dan berpikir dengan
tenang. Ayah telah tiada, kenapa Tuhan masih ada? Tuhan menciptakan semuanya,
termasuk binatang prasejarah. Padahal kata mereka itu adalah buatan manusia.
Lantas siapa yang menciptakan mereka selain Tuhan? Jika manusia mati apa Tuhan
ikut mati? Lalu bagaimana dengan hewan yang bisa hidup tanpa manusia, apa dapat
bertahan tanpa Tuhan? Hasan bersedih, kenapa ia tidak memikirkannya dari dulu.
Tapi dengan segera kembali menegakkan dirinya. Ia bertanya bagaimana ia bisa
menebus dosanya? Yang sesat tanpa arah. Dengan insyaf, tasbih kembali dalam
genggamnnya.
Sirine aman kembali
berbunyi. Hasan berniat menginap di hotel, dan bertemu dengan pembantu yang
bernama Amat. Setelah memesan
kamar, ia beristirahat di kamar 8. Ia mengisi keterangan di sebuah buku.
Setelah selesai, ia memeriksa daftar yang ada pada buku tersebut. Ia terkejut
ketika melihat nama “Anwar dengan istrinya.” Padahal ia yakin bahwa Anwar belum
menikah. Kata Rusli Anwar pernah dikeluarkan dari sekolah karena berbuat tidak
senonoh kepada wanita Balanda. Anwar juga pernah berkata percabulan itu hidup
sesungguhnya. Hasan merasa takut melihat tanggalnya, yaitu tanggal
pertengkarannya dengan kartini. Ia bertanya kepada Amat, yang kebetulan
mengetahui kejadian tersebut. Akhirnya, yakinlah ia bahwa itu adalah kartini.
Tanpa pikir panjang ia
berlari keluar hotel. Belum jauh dari hotel kembali terdengar sirine bahaya.
Akan tetapi Hasan tetap berlari. Dan tiba-tiba Tar!Tar! aduh. Ternyata, peluru telah menembus
pahanya sebelah kiri. Darah berhamburan dan ia sudah tidak bergerak lagi.
Pada saat itu, ia disangka mata-mata oleh tentara jepang. Lalu, dia dibawa ke
kantor tentara Jepang untuk disiksa.
Unsur Intrinsik Roman Atheis
·
Tema :
Pengaruh paham Atheis yang menggoyahkan keimanan seseorang.
·
Penokohan :
a)
Hasan
Tokoh protagonis. Ia seorang anak
pensiunan kepala sekolah SD. Ia tergolong sebagai pemuda yang taat dan patuh
terhadap kedua orang tuanya dan pada perintah agamanya. Namun, ia tidak
mempunyai pendirian yang tidak tetap sehingga mudah terpengaruh oleh keadaan sekitarnya terutama paham atheis
yang dibawa oleh temannya.
b)
Kartini
Teman Rusli dan ia seorang janda
mantan istri keempat dari rentenir Arab yang menjadi atheis pula. Ia seorang
istri yang mencintai suaminya. Namun, karena ia terlalu sibuk ia mulai
melupakan kehadirannya sebagai istri dan rumah tangganya akhirnya tidak dapat
berlangsung lama karena kecemburuan Hasan. Dia juga termasuk orang yang sopan
dan baik.
c)
Rusli
Sahabat Hasan dari kecil. Ia sahabat
yang pintar dalam berbicara dan sangat dekat dengan Hasan. Ia dapat
mempengaruhi Hasan dalam pergerakkan yang berpaham Atheis.
d)
Raden Wiradikarta
Orang tua Hasan yang memiliki wibawa
yang tinggi dalam mendidik anaknya dalam agama, dan ia pun taat beribadah.
e)
Anwar
Teman Rusli dan Kartini yang sangat
berpengaruh sehingga menyebabkan kecemburuan Hasan pada Kartini karena mereka
selalu terlihat bersama. Ia orang yang jujur meskipun suka menyakiti hati orang
lain.
·
Alur :
Mundur-maju
Artinya pada awalnya menceritakan suatu akhir, dan
pada karangan Hasan awalnya merupakan perkenalan.
·
Latar :
Kampung Penyeredan Garut, jalan Kebon Manggu 11, Lekong Besar 27 dan beberapa
tempat di Bandung.
·
Sudut Pandang :
Sudut pandang orang pertama pelaku sampingan.
·
Bahasa : Bahasa Melayu, Belanda, dan Jepang.
·
Amanat :
a)
Tanamkanlah keimanan kita agar memiliki pondasi
iman yang kuat.
b)
Teguhkan pendirian kita agar tidak mudah
terpengaruh dengan keadaan dunia luar yang bertentangan dengan kepercayaan
kita.
c)
Pandai-pandailah memilih teman bergaul.
d)
Jangan mudah percaya dengan apa yang kamu dengar
sebelum mengetahui kebenarannya.
e)
Dan lain-lain.
·
Nilai Adat :
a)
Di Sunda, jika kita bertemu dengan orang yang
lebih tua maka kita harus bersalaman dengan adat Sunda.
b)
Di Sunda, kebanyakan orang meletakkan dupa
disamping kuburan orang yang meninggal.
c)
Dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar