Rumah itu, satu-satunya di seluruh lembah yang bertengger
di punggung sebuah bukit yang landai. Dari ketinggian tersebut orang bisa melihat
sungai.
Dan di samping
kandang, ladang jagung yang ranum yang dipenuhi oleh bunga-bunga tanaman kacang
merah yang selalu menjanjikan panen yang baik. Satu-satunya yang dibutuhkan
oleh tanah di sana adalah turunnya hujan, atau paling tidak gerimis. Karena, daerah
itu jarang di guyur air hujan. Sedari pagi Pedro,
sosok remaja pria berkulit sawo matang yang begitu mengenal ladangnya tidak
melakukan apa-apa kecuali mengawasi langit di sebelah timur laut sambil di
temani oleh sahabat karibnya sejak kecil, Ray dan Rico (sambil menampakkan
senyuman manisnya kepada pedro).
Pedro : “Sekarang kita benar-benar mendapat air hujan.” (dengan wajah penuh kegembiraan)
Ray : “Benar, tumben dalam setahun turun hujan.”
Rico : “Emang sebelumnya jarang sekali turun hujan ?”
Pedro : “Kalo dilihat-lihat benar juga sih...”
Ray :“Makanya sekarang kita manfaatkan air hujan ini sebanyak banyaknya!”
Rico : “Gimana menurutmu, Ro ?”
Pedro : “Benar juga, pandai kamu Ray.”
Ray : “Siapa dulu .....Ray!!!”
Rico : “Namun, kita juga harus patut bersyukur kepada Tuhan.”
Pedro dan Ray : “Ya donk.”
Pedro : “Sudahlah, aku pulang dulu. Soalnya hari semakin petang.”
Rico : “Benar juga perkataan kamu, aku juga takut dimarahi Ibu.”
Ketiga sahabat
itu pun pulang menuju rumahnya, sambil mengucapkan kalimat salamnya yang selalu
diucapkan ketika hendak pulang.
Ketika Pedro
telah sampai di rumahnya, Pedro dengan hentakan kakinya mengeluarkan bunyi yang
cukup keras.
Ia pun langsung menuju jendela di samping kamarnya sambil
menatap ladang dekat rumahnya yang telah diberikannya semenjak kedua orang tuanya meninggal. Saat itu ia diasuh oleh kakeknya
sendiri. Ketika menatap ladangnya, tiba-tiba kakeknya dengan suara yang lantang
memanggil Pedro.
Kakek : “Pedro, ayo makan.”
Pedro : “Sebentar dulu, kek.”
Kakek : “Ayo cepatan, nanti makanannya keburu dingin lho.”
Pedro : “Baik kek, saya
akan segera kesana.”
Di pagi hari, hujan yang sangat lebat sepertinya akan turun. Di timur laut gumpalan-gumpalan awan tebal bisa terlihat mendekat. Udara terasa segar dan dan cukup dingin.
Pedro pergi keluar untuk
mencari sesuatu di ladang, yang sesungguhnya tak lain adalah untuk menikmati
guyuran air hujan pada tubuhnya, dan ketika kembali ia berseru, “ Yang jatuh
dari langit ini bukan titik-titik air, melainkan keping-keping uang logam baru.
Titik-titik yang besar bernilai lima ratus rupiah dan yang kecil bernilai
seratus rupiah.
Di jalan setapak yang tak
jauh dari ladang, ia bertemu dengan Rico.
Rico : “Pedro, kamu sekarang mau datang ngapain? Sendirian lagi !”
Pedro : “Aku hanya ingin melihat ladang warisan kedua orang tuaku.
Terus
kamu mau ngapain ?”
Rico : “Nggak ada dach. Aku hanya ingin jalan-jalan saja, mencari udara segar.”
Pedro : “Kalau begitu ayo, ikutlah denganku ke ladang !”
Rico : “Boleh
juga!”
Setelah sampai di ladang,
dengan muka berseri-berseri mereka memandang ladang jagung dengan bunga-bunga
kacang merahnya yang terselimuti oleh tabir hujan. Dan saat itu
mereka pun duduk di tempat para petani beristirahat. Tetapi, mendadak angin mulai bertiup kencang dan bersama dengan turunnya
air hujan.
Sehingga, berjatuhlah butir-butir air es yang
berukuran kecil-kecil. Inilah yang ia maksud uang logam itu. Hal itu berlangsung cukup lama. Selama satu jam butiran-butiran air beku itu
mendera rumah, kebun, lereng bukit, ladang jagung, dan seluruh lembah. Tak ada
sehelai daun pun yang masih melekat pada pohon-pohon. Ladang kelihatan putih,
seperti tertutupi oleh garam. Ladang peninggalan orang tua Pedro semuanya
hancur. Bunga-bunga kacang pun juga telah terenggut dari tanamannya. Hati Pedro
menjadi
sedih. Setelah badai berlalu ia berdiri di tengah ladang dan
berkata pada Rico.
Pedro : “Serangan serangga pun masih menyisakan sesuatu. Namun hujan es tidak
menyisakanku apa-apa sama sekali. Tahun ini keluargaku tidak akan mempunyai jagung atau kacang untuk di makan.
Rico : “Lalu bagaimana kamu menyelesaikan masalah ini ?”
Pedro : “Aku juga masih belum tahu..................”
Malam itu merupakan malam duka cita.
Saat itu Pedro pun dengan wajah kesal yang dilumuri keheranan menatap ladangnya
yang telah hancur diterpa badai. Ia pun menatap langit sejenak, kemudian ia
berkata pada Rico.
Pedro : “Aku masih mempunyai setitik harapan.”
Rico : “Apa itu ?” (Dengan wajah keheranan).
Pedro
: “Pertolongan Tuhan.”
Rico :
“Emang gimana caranya?”
Pedro :
“ Masalah itu nanti akan ku pikirkan !”
Rico :
“Terserah kamu dech, Pedro!”
Pedro
: “OK . . . .!”
Rico :
“Ya sudah, aku pulang dulu. Sudah dulu jalan-jalannya, sampai ketemu lagi!”
Pedro
: “Ya sudah, kalau begitu
sampai jumpa lagi yaaaa…..!”
Pedro pun menuju
rumahnya yang berada di punggung sebuah
bukit landai. Sambil melewati jalan setapak, ia memikirkan bagaimana caranya
untuk meminta pertolongan Tuhan. Setelah sampai di rumahnya, ia pun langsung
menuju tempat tidurnya dengan suara hentakkan kaki yang cukup keras dan dapat
membangunkan kakeknya yang sedang tertidur pulas. Kakeknya pun berkata pada
Pedro.
Kakek : “ Pedro, kalau jalan suara
kakinya jangan terlalau keras ya!”
Pedro : “Ya kek.”
Di kamarnya,
Pedro hanya memikirkan tentang harapan yang tinggal satu-satunya. Yaitu pertolongan
Tuhan. Ia yakin bahwa Tuhan dapat melihat segalanya, bahkan isi hati manusia
pun dapat di ketahui.
Pedro adalah
seorang laki-laki yang bertenaga bagai banteng, tetapi kurang pandai menulis.
Minggu berikutnya, setelah meyakinkan diri bahwa roh pelindung itu
sungguh-sungguh ada, ia pun berusaha menulis sepucuk surat yang akan di bawanya ke kota untuk di kirim.
Bukan hal yang istimewa, melainkan sepucuk surat untuk Tuhan yang isinya, “
Tuhan kalau engkau tak menolongku, maka aku dan kakekku akan kelaparan tahun
ini. Aku membutuhkan uang, setidaknya satu juta rupiah untuk menanami ladangku
kembali dan menyambung hidup sampai datangnya musim panen, karna badai waktu
itu.”
Ia juga
menuliskan: “Untuk Tuhan” sebagai alamat tujuan. Meskipun masih berduka, ia
tetap berangkat ke kota. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Ray dan Rico.
Ray :
“Pedro, kamu mau ke mana?”
Pedro :
“Mau ke kota.”
Rico :
“ Mau ngapain ke kota?”
Pedro :
“Mau kirim surat.”
Ray :
“Apa isinya?”
Pedro :
“Rahasia…..!”
Rico :
“Ya sudah, hati-hati di jalan ya!”
Ray : “Ingat juga, ntar cepat
pulang ya! Kasian kakekmu sendirian di rumah.”
Pedro :
“Ya, tenang aja!”
Setelah sampai
di kantor pos, ia melekatkan sebuah perangko pada suratnya dan memasukkannya ke
dalam kotak pos.
Salah seorang tukang
pos yang juga membantu di dalam kantor pos, menemui atasannya sambil tertawa.
Ia menunjukkan surat itu kepada atasannya. Belum pernah sekalipun di dalam
pekerjaannya sebagai tukang pos pernah mengantar ke alamat tersebut, sehingga
tidak tahu akan berbuat apa. Setelah mereka berdua membaca surat itu, kepala kantor
pos itu pun tertawa, namun segera menjadi serius. Sambil mengetuk-ngetuk surat
di atas mejanya itu, ia pun berkata pada tukang pos.
Kepala
kantor pos : “ Imannya benar-benar
tebal. Ia percaya pada apa yang ia percayai. Berharap dengan keyakinan, dan
tahu bagaimana caranya berharap, berkorespondensi dengan Tuhan. Padahal ia tahu
bahwa suranya ini pasti tidak akan dibalas. Tapi, ia tetap berusaha.”
Tukang
pos : “Bagaimana sekarang
pak? Kemana kita akan mengirimkan surat ini? Soalnya alamatnya belum jelas!
Kepala kantor pos : “Bagaimana kalau kita yang membalas
surat ini?”
Tukang pos : “Maksudnya…..?”
Kepala
kantor pos : “Begini, kita kumpulkan
sumbangan dari para pegawai. Setelah terkumpul, baru kemudian kita memberikan
surat balasannya kepada pengirim surat ini.”
Tukang
pos : “Baiklah, terserah
bapak.”
Namun,
uang yang terkumpul hanya sebagian dari harapan si pengirim. Ia kemudian
memasukkan
uang itu ke dalam sebuah amplop yang di alamatkan kepada Pedro dengan
disertai
selembar surat yang bertuliskan satu patah kata sebagai tanda tangan: TUHAN.
Minggu
berikutnya, Pedro kembali ke kota, dan berharap mendapat surat balasan.
Pedro :
“Apakah ada surat untukku?” (dengan suara terengah-engah)
Tukang pos :
“Pedro ya?”
Pedro : “Ia benar.”
Tukang pos :
“Ada, ini dia……!”
Pedro :
“Terima kasih.”
Tukang pos :
“Ya, sama-sama.”
Sementara itu,
Kepala Kantor Pos yang cukup puas karena merasa telah melakukan kebajikan,
menyaksikan dari ambang pintu kantornya.
Pedro tampak
tidak terkejut sama sekali ketika melihat isi amplop tersebut meskipun berisi
lima ratus ribu rupiah. Tuhan tidak mungkin salah dan tidak mungkin memungkiri
jumlah yang ku minta (pikirnya dalam hati).
Dengan segera,
Pedro menulis balasan untuk surat itu. Setelah selesai, ia kembali ke Loket
untuk membeli perangko dan kemudian di jilat serta di tempelkannya ke amplop
dengan hentakkan tinjunya.
Setelah Surat di
masukkan kedalam kotak pos, Pedro pun langsung pulang kerumahnya. Melihat hal
tersebut Kepala Kantor Pos langsung membuka dan membaca isi surat balasan itu,
dan isinya:
“Tuhan, dari
jumlah yang kuminta hanya setengahnya yang kuterima. Kirimkanlah sisanya sebab
aku sangat membutuhkannya. Tapi jangan kau kirimkan melalui tukang pos itu karena
tukang pos itu penipu.”
Akhirnya, Kepala
kantor pos itu pun hanya tersenyum, dan di saksikan oleh tukang pos.
Amanat:
Dalam menjalani
kehidupan, kita tidak boleh gampang menyerah dan putus asa, semua cobaan pasti
ada jalan keluarnya. Namun lebih baik kita jujur, karena tidak ada istilah
“Berbohong demi kebaikan.” Sebab, bohong tetaplah bohong, tidak akan mendapat
pahala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar